Rabu, 26 Januari 2011


oleh: Yesi U Johan
Hubungan Bilingualisme dengan Diglosia
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ada asumsi yang mengatakan bahwa bahasa-bahasa adalah objek, yang secara ideal diantara objek-objek itu terdapat batas-batas yang jelas. Ini berimplikasi bahwa setiap ucapan dapat dikategorikan pada satu bahasa tertentu. Item-item yang jelas ‘termasuk bahasa lain’ dapat diakomodasikan – menurut pendapat ini – dengan istilah ‘bentuk pinjaman’ atau ‘terselip’ melalui interfensi. Asumsi tersebut tidak dapat dipakai lagi, sebab tidak mampu membahas bentuk-bentuk pengalihan antara bahasa-bahasa, sebagai satu gejala umum dalam masyarakat bilingual. Dan implikasinya adalah bahwa tingkah semacam itu membentuk gangguan yang yang mengurangi efesiensi tindak komunikatif dimana pengalihan itu terjadi. Hal yang sebaliknya juga banyak terbukti; bahwa percampuran bahasa itu sebenarnya memberikan fasilitas untuk itu biarpun jauh dari pengertian pembentukan komunikasi bagi para bilingual dengan repertoire-repertoire yang lebih sulit.

Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain, entah karena letaknya jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur itu akan tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang inklusif, dalam arti ia memiliki hubungan dengan masyarakat lain, tentu akan mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiw-peristiwa tersebut yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa itu adalah apa yang didalam sosiolinguistik disebiut bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, konfergensi dan pergeseran bahasa.

Dari pengalaman hidup di Indonesia, kita tahu bahwa di banyak Negara, bahkan banyak daerah dan kota, terdapat orang-orang yang memakai bahasa yang berlainan. Bisa juga terdapat orang-orang yang memakai lebuh dari satu bahasa, umpmanya bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Suatu daerah atau masyarakat di mana terdapat dua bahasa disebut daerah atau masyarakat yang berdwibahasa atau bilingual.
Berpijak dari kerangka dasar di atas, maka dalam makalah ini dibahas tentang bilingualisme dan diglosia serta hubungan antara keduanya. Adapun tentang term-term lain yang berkenaan dengan sosiolimguistik akan diterangkan pada makalah lainnya.

B. Rumusan masalah
Dengan latar belakan di atas maka makalah ini dapat dirumruskan sebagai berikut :
a.Apakah pengertian bilingualisme itu?
b.Apakah pengertian diglosia itu?
c.Dan bagaimanakah hubungan antara keduanya?


BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Bilingualisme (Tsunaiyah al-Lughah)
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud bilingualisme itu, yakni berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Dalam perspektif sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalalm pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama adalah bahasa ibu atau bahasa pertamanya (disingkat B1) dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).

Orang yang bisa menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual –dalam bahasa Indonesia disebut dwibahasawan. Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas—dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan.
Bilingualisme dan Bilingualitas.

Jika kita perhatikan hubungan logika antara bilingualisme dan bilingualitas, maka akan dapat dimengerti bahwa tidak semua yang memiliki “bilingulitas” akan mempraktikkan “bilingualisme” dalam kehidupan sehari-harinya, sebab hal ini tergantung pada situasi kebahasaan di lingkungannya. Namun, dapat pula kita pahami bahwa seseorang tidak akan dapat mempraktikkan “bilingualisme” tanpa memiliki “bilingualitas”. Singkatnya, bilingualisme brimplikasi pada bilingualitas.

B.Diglosia (Lughah al-Mudzawijah)
Istilah diglosia ini pertama kali digunakan dalam bahasa Perancis diglossie yang diserap dari bahasa Yunani διγλωσσία, ‘dwibahasa’) oleh bahasawan Yunani Ioannis Psycharis. Ahli bahasa Arab William Marçais lalu juga menggunakannya pada tahun 1930 untuk menuliskan situasi bahasa di dunia Arab.

Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Yang dimaksud ialah bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal. Contohnya misalkan di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan.

Akan tetapi, istilah diglosia tersebut menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh C.A. Ferguson, seorang sarjana dari Stanford University pada tahun 1958 dalam sebuah symposium tentang “Urbanisasi dan Bahasa-bahasa Standar” yang diselenggarakan oleh American Antropological Association di Washington DC.
Ferguson mengunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing punya peranan tertentu. Ferguson membahas diglosia ini dengan mengemukakan sembilan topic, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standarisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.

Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurutnya, dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R). dalam bahasa Arab dialek T-nya adalah bahasa arab klasik, bahasa al-Qur’an yang disebut al-Fusha. Dialek R-nya adalah berbagai bentuk bahasa Arab yang digunakn oleh bangsa Arab yang lazim disebut ad-Darij.

Pristise. Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap bahwa dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadaannya.
Pemerolehan dialek T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan dialek atau ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman. Dan karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T tersebt melalui kodifikasi formal. Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T. Stabilitas dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masnyarakat itu.

C.Hubungan Bilingualisme dengan Diglosia
Ketika diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan bilingualisme sebagai adanya penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman menggambarkan hubungan diglosia sebagai berikut:

a.Bilingualisme dan diglosia
Di dalam masyarakat yang dikarekterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, hamper setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menrurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan.

b.Bilingaulisme tanpa diglosia
Dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosis tetdapat sejumlah individu yang bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi dan tujuan apapun.

c.Diglosia tanpa bilingualisme
Di dalam masyarakat yang beriri diglosia tapi tanpa bilingualismre terdapat dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih keil, merupakan kelompok ruling group yang hanya biara dalam bahasa T. sedangkan kelompom kedua yang biasanya lebih besar, tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbiara bahasa R. siatasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa sebelum perang dunia pertama.

d.Tidak bilingualisme dan tidak diglosia
Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala tujuan. Keadaan in hanya mugnkin ada dalam masyarakat primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan bilingual ini akan mencair apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain.


BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa poin, yaitu :
1.Billingualisme adalah akibat dari penggunaan lebih dari satu kode oleh seseorang individu atau masyarakat.
2.Diglosia adalah merupakan akibat dari valuasi perbedaan fungsional. Bilingulisme dan diglosia dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam suatu komunitas ujar.
3.Hubungan antara keduanya amatlah tergantung dari aspek dan bagaimana kita memandangnya.